Dari Madzhab Malik:
Ahmad Ad-Darudir, (Dia Abul Barakat Ahmad bin Asy-Syaikh Ash-Shalih Muhammad Al-‘Adawi, Al-Anshari, Al-Khalwati yang terkenal dengan Ad-Darudir, Syaikh penduduk Mesir di masanya. Beliau seorang yang beramar ma’ruf dan nahi munkar. Wafat 1201 H. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah 1/359.) penulis Asy-Syarhul Kabir, "Kekufu’an adalah agama dan keadaan, dan baginya dan wali boleh meninggalkannya."( Asy-Syarhul Kabir dengan Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/249.) Ad-Dasuqi (Dia Muhammad bin Ahmad bin ‘Arafah Ad-Dasuqi Al-Maliki, dari daerah Dasuq, Mesir. Beliau termasuk pengajar di Al-Azhar. Dia belajar dan tinggal serta wafat di Kairo. Wafat tahun 1230 H. Lihat Al-A’lam Az-Zarkali 6/17.) menyetujui itu dalam Hasyiyah-nya terhadap Asy-Syarh (Lihat Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249). Dan demikian Syaikh Muhammad ‘Ulaisy dalam Taqrirat-nya (Lihat Taqriqat Muhammad ‘Ulaisy ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249)
Dari Madzhab Syafi’i:
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syirazi,( Dia Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-Syirazi, Al-Fairuz Abadi, orang yang diberi julukan Jamaluddin, tinggal di Baghdad dan ber-tafaqquh (mendalami) sekelompok orang tertentu. Menulis beberapa tulisan yang berguna dari kitab Muhadzdzab, Tanbih, Luma’ dan lain-lain. Lihat Fawayantul A’yan 1/29). pengarang Muhadzdzab, "Kekufu’an adalah pria fasik tidak dianggap sekufu’ dengan wanita yang terhormat." (Juz 2/50).
Imam An-Nawawi berkata ketika memaparkan jumlah bagian masalah kufu’, "Dan juga ‘iffah (kehormatan), maka seorang yang fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang ‘afifah (terhormat)." (Al-Minhaj ma’a Mughnil Muhtaj 3/166)
Muhammad Asy-Syarbini (Dia Muhammad bin Muhammad Asy-Syarbini, Al-Qahiri, Asy-Syafii, Al-Khatib Al-Imam Al-‘Allamah. Ijma’ orang-orang Mesir atas keshalihannya dan ahli-ahli ilmu mensifati beliau orang yang berilmu dan beramal, zuhud dan wara’. Dia men-syarah kitab Al-Minhaj dan Tanbih dengan dua syarh yang besar. Wafat tahun 977 H. Lihat Syadzaratul Dzahab 8/384) berkata, "Keempat: Al-‘Iffah. Yaitu agama, keshalihan,dan mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak dihalalkan. Maka, seorang pria yang fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang memiliki ‘iffah, karena adanya dalil yang menunjukkan tidak samanya … Beliau berkata, "(Pernikahan) seorang pria mubtadi’ dengan wanita Sunni sama seperti (pernikahan) pria fasik dengan wanita yang memiliki ‘iffah." (Mughnil Muhtaj 3/166)
Dari Madzhab Hambali:
Ibnu Qudamah berkata dalam Syarh-nya terhadap ucapan Al-Khurqi,22 "Dan kekufu’an: Yang memiliki kebaikan agama dan kedudukan
" Riwayat tentang pendapat Imam Ahmad tentang syarat kekufu’an berbeda-beda. Beliau memiliki dua syarat: kebaikan agama dan kedudukan. Itu saja. Dan, juga ada yang meriwayatkan dari beliau lima hal, dua di antaranya yang tadi, ditambah dengan status sebagai orang merdeka, pekerjaan dan harta. Beliau berkata tentang dianggapnya agama sebagai kekufu’an adalah berdalil dengan ayat:
"Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama." (As-Sajdah: 18)
Seorang fasik itu terhina, tertolak kesaksiannya dan ceritanya, tidak bisa dipercaya mengurus orang dan harta, gugur kewaliannya, rendah di sisi Allah dan di sisi makhluk-Nya, serta miskin di dunia dan akhirat. Maka, dia tidak boleh sekufu’ dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Pria itu tidak sama dengannya, tapi sekufu’ dengan wanita sejenisnya." (Al-Mughni 9/391).
Dengan pemaparan pendapat-pendapat para ulama tentang masalah kekufu’an dalam pernikahan maka tetaplah, bahwa: kekufu’an dalam pernikahan merupakan syarat keharusan pernikahan, sebagaimana disepakati jumhur para ulama dari tokoh empat madzhab. Tidak ada yang menyelisihi dalam hal itu kecuali Al-Hasan Al-Bashri, Sufyan Ats-Tsauri, dan Al-Khurkhi yang tidak mensyaratkan ke-kufu’-an sebagai dasar dalam pernikahan. Dan, Muhammad bin Al-Hasan yang tidak menganggap kebaikan dalam kekufu’an.
Berdasarkan hal tadi, maka hukum pernikahan pria mubtadi’ -yang bid’ahnya tidak membawanya kepada kekafiran- dengan wanita Ahlus Sunnah, boleh jika telah terjadi. Tetapi akadnya tidak mesti diterima, kecuali dengan persetujuan dari setiap wanita dan para walinya untuk melakukannya. Ini disebabkan karena sang mubtadi’ tidak sekufu’ dengan wanita Sunni tersebut, sebagaimana seorang pria fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Kekufu’an adalah hak bagi sang wanita dan hak para walinya. Masing-masing dari keduanya memiliki hak tolak untuk menikahkan sang mubtadi’ dan untuk menggugurkan akad karena tidak sekufu’. Keduanya juga memiliki hak untuk menggugurkan haknya dalam hal itu dan melaksanakan pernikahan sehingga pernikahan tersebut sah. Wallahu a’lam.
Adapun menikahnya seorang pria dari Ahlus Sunnah dengan seorang wanita yang bid’ahnya tidak sampai ke batas kekufuran, maka pernikahannya dengan sang wanita itu sah. Alasannya, karena kekufu’an hanya disyaratkan pada pihak sang pria yaitu syarat sekufu’ dengan sang wanita, dan tidak disyaratkan kekufu’an bagi sang wanita untuk sekufu’ dengan sang pria. Inilah yang diyakini jumhur ulama. Mereka berkata: Karena hal tersebut, maka sang pria tidak bisa dicela disebabkan sang istri lebih rendah darinya, dan dia tidak akan mendapat bahaya dengan sebab tersebut. Berbeda dengan wanita, dia akan dicela dengan memiliki suami yang lebih rendah dari dia, dan wanita tersebut akan terganggu dengan hal itu karena sang pria bisa saja men-thalaq (cerai)-nya di setiap waktu. Dia (sang pria) bisa berlaku leluasa terhadap dirinya, berbeda dengan wanita tersebut. (Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 9/397, Hasyiyah, Ibnu ‘Abidin 3/85, Al-Fiqhul Islami, Dr. Wahbah Az-Zuhaili 7/239, Al-Fiqh ‘Alal Mazahibil Arba’ah, Abdurrahman Al-Jazairi 4/57, dan Az-Zuwaj wa Ath-Thalaq fil Islam, Badran Abul ‘Ainain hal. 162)
Dan Di Sini Perlu Diberi Peringatan Penting, Yaitu Permasalahan Sahnya Pernikahan Seorang Pria Mubtadi’ Dengan Wanita Sunni.
Secara syari’at, kesepakatan sang wanita dan para walinya dan sahnya pernikahan seorang pria Ahlus Sunnah dengan wanita Ahlul Bid’ah, tidaklah menunjukkan ditekankannya (atau dibolehkannya tanpa ada bahaya, ed.) pernikahan Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bid’ah. Hukum sahnya pernikahan mereka setelah terpenuhinya syarat-syarat kesahannya merupakan suatu masalah, dan keridlaan terhadap pernikahan mereka adalah suatu masalah lain lagi. Bahkan, telah jelas larangan keras menikahnya pria-pria Ahlul Bid’ah dengan wanita-wanita Sunni menurut Ahlus Sunnah, disebabkan karena sangat besarnya bahaya-bahaya yang dapat terjadi akibat pernikahan para pria Ahlul Bid’ah dengan para wanita Ahlus Sunnah.
Syari’at memberi keterangan bahwa sahnya akad mereka itu bisa memberikan kerugian kepada masing-masing pihak, seperti kepada sang wanita dan para walinya. Inilah yang dimaukan akal sehat, yakni mereka menolak pernikahan itu karena akan timbul bahaya-bahaya akibat mereka menikahkannya dengan sang pria Ahlul Bid’ah. Jika mereka setuju, berarti masing-masing pihak telah menyia-nyiakan hak dirinya dan hak lainnya akibat pernikahan ini.
Seorang pria Ahlus Sunnah bila dia menikahi wanita Ahlul Bid’ah, dia telah dianggap berlaku jelek dalam pilihan tersebut. Dia berarti telah menyia-nyiakan hak dirinya dengan menikahi wanita tersebut, karena pernikahan tersebut memberikan dampak negatif terhadap diri dan keluarganya. Sebagaimana juga, dia telah menyia-nyiakan hak anak-anaknya dengan memilihkan untuk mereka seorang ibu yang tidak shalih. Sang ibu memiliki pengaruh yang besar dalam membimbing anak-anaknya dalam akidah dan akhlak, juga bisa menyimpangkan mereka dari agama yang lurus, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Tidaklah setiap anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam dan suci). Maka orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak yang sehat (Yakni bersih dari aib-aib yang terkumpul padanya anggota badan yang sempurna (sehat) maka tidak ada kecacatan da kay (ditusuk dengan besi panas). (An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/296). apakah kalian melihat padanya ada kecacatan (Yakni terputus ujungnya atau dari salah satu darinya (anggota badan itu). An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/247)." (HR. Bukhari Kitabul Janaiz Bab Idza Aslama Shabiyyu Hal Yushalla ‘Alaih, Fathul Bari 3219 no. 1358. Muslim Kitabul Qadr Bab Makna Kullu Mauludin Yuladu ‘Alal Fitrah 4/2047 no. 2658). Selain ini, juga cercaan yang didapat sang anak karena memiliki ibu yang Ahlul Bid’ah.
Demikian juga sang wanita, bila dia ridla dengan dinikahi sang mubtadi’, berarti dia sedang menuntun bahaya menuju keluarganya secara umum akibat adanya hubungan pernikahan dengan sang mubtadi’ tersebut. Ikatan mushaharah (hubungan karena pernikahan) dan berkumpul dengan sang mubtadi’ ini dapat memberikan efek negatif kepada rumah tersebut. Sebagaimana hal ini (wali) bisa menyakiti wanita yang dia tanggung khususnya, karena dia menikahkannya dengan sang mubtadi’ tersebut yang dia tidak bisa memilih dengan baik. Dan wanita tersebut (perlu selalu, ed.) dinasihati untuk bersikap (benar sesuai syari’at, ed.) terhadap sang pria karena dikhawatirkan dia (sang wanita) dengan keberaniannya menikah -akan membuatnya menyimpang dari akidah yang benar dan mengikuti akidah sang suami- karena wanita bisa dikuasai, lemah, dan sedikit kesabarannya. Oleh karena itu, Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, "Siapa yang menikahkan saudara wanitanya dengan sang pria mubtadi’, berarti dia telah memutus hubungan kekeluargaannya dengan sang wanita." (Al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah hal. 60, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/733, Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 19, dan As-Suyuthi dalam Al-Amru bi Ittiba’ hal. 81)
Yang lebih parah dari itu dalam pernikahan dengan pria Ahlul Bid’ah -jika dia termasuk yang mendakwahkan bid’ahnya- berarti mereka (sang wanita dan para walinya, ed.) tidak menyikapinya dengan benar, seperti mengisolirnya, membentaknya agar dia bertaubat dari bid’ahnya, dan hal-hal yang bisa memberikan kebaikan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan sebelum itu, dalam pernikahan tersebut mereka menyia-nyiakan hak Allah yang harus ditunaikan dengan mereka ber-wala’ (loyalitas) kepada musuh-musuh-Nya, mencintai mereka, mendekati mereka, tidak membenci serta menjauhi mereka karena Allah.
Ringkasnya, pernikahan dengan Ahlul Bid’ah yang masih dianggap termasuk muslimin, baik pria maupun wanita, adalah makruh (dibenci) menurut Ahlus Sunnah dengan kebencian yang keras, karena akan menimbulkan efek-efek negatif, menyia-nyiakan hak dan kebaikan-kabaikan. Oleh karena itu, para Salaf melarangnya untuk menjaga hal tersebut.
Imam Malik berkata, "Ahlul Bid’ah jangan dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah), jangan menyerahkan kepada mereka untuk dinikahi, jangan mengucapkan salam kepada mereka, jangan shalat di belakang mereka, dan jangan iringi jenazah-jenazah mereka." (Al-Mudawanah 1/84)
Imam Ahmad berkata, "Siapa yang tidak menomor-empatkan Ali bin Abi Thalib dalam khilafah, maka kalian jangan mengajak bicara dan menikahkannya." (Thabaqatul hanabilah, Ibnu Abi Ya’la 1/45).
Dengan ini kami tutup pasal ini setelah menerangkan sikap Ahlus Sunnah dalam hal pernikahan dengan Ahlul Bid’ah, apakah mereka Ahlul Bid’ah yang kafir atau muslim, sama saja, pria atau wanita, menurut nash-nash yang sesuai dengan syari’at dan riwayat-riwayat para Salaf dalam hal tersebut. Alhamdulillah dengan karunia dan taufik-Nya.
Ahmad Ad-Darudir, (Dia Abul Barakat Ahmad bin Asy-Syaikh Ash-Shalih Muhammad Al-‘Adawi, Al-Anshari, Al-Khalwati yang terkenal dengan Ad-Darudir, Syaikh penduduk Mesir di masanya. Beliau seorang yang beramar ma’ruf dan nahi munkar. Wafat 1201 H. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah 1/359.) penulis Asy-Syarhul Kabir, "Kekufu’an adalah agama dan keadaan, dan baginya dan wali boleh meninggalkannya."( Asy-Syarhul Kabir dengan Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/249.) Ad-Dasuqi (Dia Muhammad bin Ahmad bin ‘Arafah Ad-Dasuqi Al-Maliki, dari daerah Dasuq, Mesir. Beliau termasuk pengajar di Al-Azhar. Dia belajar dan tinggal serta wafat di Kairo. Wafat tahun 1230 H. Lihat Al-A’lam Az-Zarkali 6/17.) menyetujui itu dalam Hasyiyah-nya terhadap Asy-Syarh (Lihat Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249). Dan demikian Syaikh Muhammad ‘Ulaisy dalam Taqrirat-nya (Lihat Taqriqat Muhammad ‘Ulaisy ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249)
Dari Madzhab Syafi’i:
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syirazi,( Dia Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-Syirazi, Al-Fairuz Abadi, orang yang diberi julukan Jamaluddin, tinggal di Baghdad dan ber-tafaqquh (mendalami) sekelompok orang tertentu. Menulis beberapa tulisan yang berguna dari kitab Muhadzdzab, Tanbih, Luma’ dan lain-lain. Lihat Fawayantul A’yan 1/29). pengarang Muhadzdzab, "Kekufu’an adalah pria fasik tidak dianggap sekufu’ dengan wanita yang terhormat." (Juz 2/50).
Imam An-Nawawi berkata ketika memaparkan jumlah bagian masalah kufu’, "Dan juga ‘iffah (kehormatan), maka seorang yang fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang ‘afifah (terhormat)." (Al-Minhaj ma’a Mughnil Muhtaj 3/166)
Muhammad Asy-Syarbini (Dia Muhammad bin Muhammad Asy-Syarbini, Al-Qahiri, Asy-Syafii, Al-Khatib Al-Imam Al-‘Allamah. Ijma’ orang-orang Mesir atas keshalihannya dan ahli-ahli ilmu mensifati beliau orang yang berilmu dan beramal, zuhud dan wara’. Dia men-syarah kitab Al-Minhaj dan Tanbih dengan dua syarh yang besar. Wafat tahun 977 H. Lihat Syadzaratul Dzahab 8/384) berkata, "Keempat: Al-‘Iffah. Yaitu agama, keshalihan,dan mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak dihalalkan. Maka, seorang pria yang fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang memiliki ‘iffah, karena adanya dalil yang menunjukkan tidak samanya … Beliau berkata, "(Pernikahan) seorang pria mubtadi’ dengan wanita Sunni sama seperti (pernikahan) pria fasik dengan wanita yang memiliki ‘iffah." (Mughnil Muhtaj 3/166)
Dari Madzhab Hambali:
Ibnu Qudamah berkata dalam Syarh-nya terhadap ucapan Al-Khurqi,22 "Dan kekufu’an: Yang memiliki kebaikan agama dan kedudukan
" Riwayat tentang pendapat Imam Ahmad tentang syarat kekufu’an berbeda-beda. Beliau memiliki dua syarat: kebaikan agama dan kedudukan. Itu saja. Dan, juga ada yang meriwayatkan dari beliau lima hal, dua di antaranya yang tadi, ditambah dengan status sebagai orang merdeka, pekerjaan dan harta. Beliau berkata tentang dianggapnya agama sebagai kekufu’an adalah berdalil dengan ayat:
"Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama." (As-Sajdah: 18)
Seorang fasik itu terhina, tertolak kesaksiannya dan ceritanya, tidak bisa dipercaya mengurus orang dan harta, gugur kewaliannya, rendah di sisi Allah dan di sisi makhluk-Nya, serta miskin di dunia dan akhirat. Maka, dia tidak boleh sekufu’ dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Pria itu tidak sama dengannya, tapi sekufu’ dengan wanita sejenisnya." (Al-Mughni 9/391).
Dengan pemaparan pendapat-pendapat para ulama tentang masalah kekufu’an dalam pernikahan maka tetaplah, bahwa: kekufu’an dalam pernikahan merupakan syarat keharusan pernikahan, sebagaimana disepakati jumhur para ulama dari tokoh empat madzhab. Tidak ada yang menyelisihi dalam hal itu kecuali Al-Hasan Al-Bashri, Sufyan Ats-Tsauri, dan Al-Khurkhi yang tidak mensyaratkan ke-kufu’-an sebagai dasar dalam pernikahan. Dan, Muhammad bin Al-Hasan yang tidak menganggap kebaikan dalam kekufu’an.
Berdasarkan hal tadi, maka hukum pernikahan pria mubtadi’ -yang bid’ahnya tidak membawanya kepada kekafiran- dengan wanita Ahlus Sunnah, boleh jika telah terjadi. Tetapi akadnya tidak mesti diterima, kecuali dengan persetujuan dari setiap wanita dan para walinya untuk melakukannya. Ini disebabkan karena sang mubtadi’ tidak sekufu’ dengan wanita Sunni tersebut, sebagaimana seorang pria fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Kekufu’an adalah hak bagi sang wanita dan hak para walinya. Masing-masing dari keduanya memiliki hak tolak untuk menikahkan sang mubtadi’ dan untuk menggugurkan akad karena tidak sekufu’. Keduanya juga memiliki hak untuk menggugurkan haknya dalam hal itu dan melaksanakan pernikahan sehingga pernikahan tersebut sah. Wallahu a’lam.
Adapun menikahnya seorang pria dari Ahlus Sunnah dengan seorang wanita yang bid’ahnya tidak sampai ke batas kekufuran, maka pernikahannya dengan sang wanita itu sah. Alasannya, karena kekufu’an hanya disyaratkan pada pihak sang pria yaitu syarat sekufu’ dengan sang wanita, dan tidak disyaratkan kekufu’an bagi sang wanita untuk sekufu’ dengan sang pria. Inilah yang diyakini jumhur ulama. Mereka berkata: Karena hal tersebut, maka sang pria tidak bisa dicela disebabkan sang istri lebih rendah darinya, dan dia tidak akan mendapat bahaya dengan sebab tersebut. Berbeda dengan wanita, dia akan dicela dengan memiliki suami yang lebih rendah dari dia, dan wanita tersebut akan terganggu dengan hal itu karena sang pria bisa saja men-thalaq (cerai)-nya di setiap waktu. Dia (sang pria) bisa berlaku leluasa terhadap dirinya, berbeda dengan wanita tersebut. (Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 9/397, Hasyiyah, Ibnu ‘Abidin 3/85, Al-Fiqhul Islami, Dr. Wahbah Az-Zuhaili 7/239, Al-Fiqh ‘Alal Mazahibil Arba’ah, Abdurrahman Al-Jazairi 4/57, dan Az-Zuwaj wa Ath-Thalaq fil Islam, Badran Abul ‘Ainain hal. 162)
Dan Di Sini Perlu Diberi Peringatan Penting, Yaitu Permasalahan Sahnya Pernikahan Seorang Pria Mubtadi’ Dengan Wanita Sunni.
Secara syari’at, kesepakatan sang wanita dan para walinya dan sahnya pernikahan seorang pria Ahlus Sunnah dengan wanita Ahlul Bid’ah, tidaklah menunjukkan ditekankannya (atau dibolehkannya tanpa ada bahaya, ed.) pernikahan Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bid’ah. Hukum sahnya pernikahan mereka setelah terpenuhinya syarat-syarat kesahannya merupakan suatu masalah, dan keridlaan terhadap pernikahan mereka adalah suatu masalah lain lagi. Bahkan, telah jelas larangan keras menikahnya pria-pria Ahlul Bid’ah dengan wanita-wanita Sunni menurut Ahlus Sunnah, disebabkan karena sangat besarnya bahaya-bahaya yang dapat terjadi akibat pernikahan para pria Ahlul Bid’ah dengan para wanita Ahlus Sunnah.
Syari’at memberi keterangan bahwa sahnya akad mereka itu bisa memberikan kerugian kepada masing-masing pihak, seperti kepada sang wanita dan para walinya. Inilah yang dimaukan akal sehat, yakni mereka menolak pernikahan itu karena akan timbul bahaya-bahaya akibat mereka menikahkannya dengan sang pria Ahlul Bid’ah. Jika mereka setuju, berarti masing-masing pihak telah menyia-nyiakan hak dirinya dan hak lainnya akibat pernikahan ini.
Seorang pria Ahlus Sunnah bila dia menikahi wanita Ahlul Bid’ah, dia telah dianggap berlaku jelek dalam pilihan tersebut. Dia berarti telah menyia-nyiakan hak dirinya dengan menikahi wanita tersebut, karena pernikahan tersebut memberikan dampak negatif terhadap diri dan keluarganya. Sebagaimana juga, dia telah menyia-nyiakan hak anak-anaknya dengan memilihkan untuk mereka seorang ibu yang tidak shalih. Sang ibu memiliki pengaruh yang besar dalam membimbing anak-anaknya dalam akidah dan akhlak, juga bisa menyimpangkan mereka dari agama yang lurus, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Tidaklah setiap anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam dan suci). Maka orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak yang sehat (Yakni bersih dari aib-aib yang terkumpul padanya anggota badan yang sempurna (sehat) maka tidak ada kecacatan da kay (ditusuk dengan besi panas). (An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/296). apakah kalian melihat padanya ada kecacatan (Yakni terputus ujungnya atau dari salah satu darinya (anggota badan itu). An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/247)." (HR. Bukhari Kitabul Janaiz Bab Idza Aslama Shabiyyu Hal Yushalla ‘Alaih, Fathul Bari 3219 no. 1358. Muslim Kitabul Qadr Bab Makna Kullu Mauludin Yuladu ‘Alal Fitrah 4/2047 no. 2658). Selain ini, juga cercaan yang didapat sang anak karena memiliki ibu yang Ahlul Bid’ah.
Demikian juga sang wanita, bila dia ridla dengan dinikahi sang mubtadi’, berarti dia sedang menuntun bahaya menuju keluarganya secara umum akibat adanya hubungan pernikahan dengan sang mubtadi’ tersebut. Ikatan mushaharah (hubungan karena pernikahan) dan berkumpul dengan sang mubtadi’ ini dapat memberikan efek negatif kepada rumah tersebut. Sebagaimana hal ini (wali) bisa menyakiti wanita yang dia tanggung khususnya, karena dia menikahkannya dengan sang mubtadi’ tersebut yang dia tidak bisa memilih dengan baik. Dan wanita tersebut (perlu selalu, ed.) dinasihati untuk bersikap (benar sesuai syari’at, ed.) terhadap sang pria karena dikhawatirkan dia (sang wanita) dengan keberaniannya menikah -akan membuatnya menyimpang dari akidah yang benar dan mengikuti akidah sang suami- karena wanita bisa dikuasai, lemah, dan sedikit kesabarannya. Oleh karena itu, Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, "Siapa yang menikahkan saudara wanitanya dengan sang pria mubtadi’, berarti dia telah memutus hubungan kekeluargaannya dengan sang wanita." (Al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah hal. 60, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/733, Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 19, dan As-Suyuthi dalam Al-Amru bi Ittiba’ hal. 81)
Yang lebih parah dari itu dalam pernikahan dengan pria Ahlul Bid’ah -jika dia termasuk yang mendakwahkan bid’ahnya- berarti mereka (sang wanita dan para walinya, ed.) tidak menyikapinya dengan benar, seperti mengisolirnya, membentaknya agar dia bertaubat dari bid’ahnya, dan hal-hal yang bisa memberikan kebaikan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan sebelum itu, dalam pernikahan tersebut mereka menyia-nyiakan hak Allah yang harus ditunaikan dengan mereka ber-wala’ (loyalitas) kepada musuh-musuh-Nya, mencintai mereka, mendekati mereka, tidak membenci serta menjauhi mereka karena Allah.
Ringkasnya, pernikahan dengan Ahlul Bid’ah yang masih dianggap termasuk muslimin, baik pria maupun wanita, adalah makruh (dibenci) menurut Ahlus Sunnah dengan kebencian yang keras, karena akan menimbulkan efek-efek negatif, menyia-nyiakan hak dan kebaikan-kabaikan. Oleh karena itu, para Salaf melarangnya untuk menjaga hal tersebut.
Imam Malik berkata, "Ahlul Bid’ah jangan dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah), jangan menyerahkan kepada mereka untuk dinikahi, jangan mengucapkan salam kepada mereka, jangan shalat di belakang mereka, dan jangan iringi jenazah-jenazah mereka." (Al-Mudawanah 1/84)
Imam Ahmad berkata, "Siapa yang tidak menomor-empatkan Ali bin Abi Thalib dalam khilafah, maka kalian jangan mengajak bicara dan menikahkannya." (Thabaqatul hanabilah, Ibnu Abi Ya’la 1/45).
Dengan ini kami tutup pasal ini setelah menerangkan sikap Ahlus Sunnah dalam hal pernikahan dengan Ahlul Bid’ah, apakah mereka Ahlul Bid’ah yang kafir atau muslim, sama saja, pria atau wanita, menurut nash-nash yang sesuai dengan syari’at dan riwayat-riwayat para Salaf dalam hal tersebut. Alhamdulillah dengan karunia dan taufik-Nya.
Post a Comment